Novel "cairul tanjung"
22.35
By
arnoldy septiano
Novel
0
komentar
REP | 14 December 2012 | 22:30 Dibaca: 684 Komentar: 0 Nihil
Pada Sabtu, 10 November 2012, saya
menyempatkan diri datang ke Toko Buku Gramedia, Jalan Basuki Rachmat,
Surabaya. Khusus untuk menghadiri acara “Sharing, Learning, Book Signing,” bersama Chairul Tanjung. Tentu saja, tidak lupa membawa buku Chairul Tanjung, Si Anak Singkong yang sudah saya beli sejak pertamakali terbit untuk ditandatangani oleh Pak CT (panggilan akrab Chairul Tanjung).
Buku yang sangat inspiratif ini pada 17 November 2012, telah mendapat penghargaan sebagai “Book of the Year” oleh Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI).
Ternyata, peminat acara ini sangat banyak. Bagian ruangan dari Toko Buku Gramedia yang dikhususkan untuk acara tersebut terasa penuh sesak. “Beruntung,” meskipun hanya bisa berdiri, posisi saya hanya sekitar 3 meter dari tempat Pak CT berbicara, berbagi pengalamannya itu.
Acaranya dimulai sekitar pukul
16:30 – 18:30 WIB. Durasi yang 2,5 jam itu tidak terasa lamanya, bahkan
terasa kurang untuk mendengar langsung dari Pak CT tentang pengalaman
hidupnya dalam mencapai kesuksesan besar sebagai salah satu konglomerat,
dan orang terkaya kelima di Indonesia menurut versi Majalah Forbes.
Selain secara singkat menceritakan
pengalaman suksesnya, Pak CT juga menyampaikan ambisi, cita-cita, visi
dan misinya demi memajukan bangsa dan negara ini. Menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara besar, negara maju dan disegani di dunia ini.
Kata Pak CT, salah satu unsur utama untuk bisa mencapai cita-cita tersebut adalah human resources,
sumber daya manusia (SDM). Kita harus bisa mengubah keadaan, dari
selama ini sebagai negara yang berbasis buruh murah, menjadi negara yang
berbasis SDM berilmupengetahuan dan berteknologi tinggi. Dengan
mempunyai SDM seperti ini, maka Indonesia dapat menjadi negara maju yang
berpenghasilan tinggi.
Lanjut Pak CT, rakyat Indonesia itu
jumlahnya sangat banyak, lebih 240 juta. Penduduknya itu harus
terdidik, harus sehat. Karena kalau dia tidak terdidik, dia tidak sehat,
maka dia akan menjadi beban. Selain harus sehat dan terdidik, dia itu
harus kreatif, inovatif dan harus produktif. Kepada mereka yang masih
belajar, mahasiswa, janganlah bermimpi menjadi pekerja, tetapi
bermimpilah menjadi pencipta lapangan kerja.
Menjawab pertanyaan seorang peserta acara itu, CT menyampaikan nasihatnya sebagai berikut, untuk menjadi “from nobody to be somebody, from nobody to be something,
mulailah dari sesuatu yang kecil, yang memang paling mampu kita
lakukan. Mulailah dari yang dekat. Jangan pernah mimpi, saya harus
begini, besok jadi konglomerat. Tidak mungkin bisa. Mulailah dari
menapak anak tangga demi anak tangga.
“Waktu saya kuliah, saya berusaha
cari uang bukan berpikir supaya menjadi konglomerat. Bukan. Apa itu
konglomerat saja waktu itu tidak mengerti. Mulailah dari lingkungan
terdekat, yang bisa kita jangkau. Paling penting adalah do something, kerjakan sesuatu. Jangan mimpi terus, tidak berbuat sesuatu. Lakukan sesuatu, action, sekecil apapun. …”
Dengan berbagi pengalaman yang
ditulis dibukunya, dan berkomunikasi langsung dengan para generasi muda,
seperti ini, diharapkan akan membuat semakin banyak anak muda yang
termotivasi untuk maju menjadi pengusaha besar seperti dirinya.
Terciptanya “1.000 konglomerat” adalah salah satu impian Pak CT.
Beberapa tahun sebelumnya,
sebenarnya pihak Penerbit Gramedia-Kompas, dalam hal ini Tjahja Gunawan
Diredja, sudah beberapakali menghubungi Pak CT agar bersedia membuat
buku tentang dirinya; seorang pengusaha besar yang dalam usianya yang
masih muda telah mencapai kesuksesan yang sedemikian mengagumkan. Ketika
hampir semua perusahaan besar, termasuk para konglomerat berjatuhan di
masa krisis moneter, perusahaan-perusahaan milik CT di bawah bendera
Para Grup tetap bisa eksis. Bank Mega, miliknya, bukan saja mampu
bertahan di masa krisis tersebut, tetapi juga bahkan meraih untung besar
lewat transaksi pinjaman antarbank (call money).
Tetapi, waktu itu Pak CT menolak
secara halus ide pembuatan buku tentang dirinya itu. Alasan masih merasa
kurang layak kisah hidupnya dibukukan. Lagipula, merasa tidak enak,
ketika banyak pihak yang jatuh dalam kesusahan, justru dia menampilkan
diri sebagai orang sukses. Seolah-olah menyombongkan diri.
Seiring berlalunya waktu, setelah
beberapakali berusaha meyakinkan Pak CT, dengan dasar pemikiran bahwa
bukunya tersebut akan dibuat menjadi sebuah buku yang penuh inspirasi
dan motivasi bagi generasi muda bangsa, akhirnya Pak CT mau juga kisah
hidup, atau lebih tepatnya kisah suksesnya itu dibukukan. Tahun 2012 pun
dipilih untuk peluncuran bukunya yang berjudul Chairul Tanjung, si Anak Singkong itu, bertepatan dengan perayaan HUT Pak CT yang ke-50.
Pak CT, seperti yang dituturkan
oleh Tjahja Gunawan Diredja, penulis buku tersebut, sebenarnya ingin
yang menulis buku biografinya itu adalah Ramadhan K.H., seorang penulis
besar “khusus” biografi, yang dikagumi Pak CT. Tetapi karena yang
bersangkutan sudah meninggal dunia, maka Tjahja Gunawan Diredja-lah
yang menulisnya. Seorang wartawan senior dari Harian Kompas.
(Mengenai penulisan buku ini sendiri
sebenarnya sempat diwarnai dengan permasalahan antara Tjahja dengan
seorang sahabatnya yang bernama Inu Febriana, yang mengaku sebagai ghost writer buku
tersebut. Dia mempermasalhan pembagian royalti dan penyebutan nama di
buku itu. Sedangkan Tjahja mengaku, benar Inu-lah yang membuat transkrip
dari wawancara-wawancara yang dijadikan bahan penulisan buku, tetapi
bukan seorang ghost writer. Selengkapnya, silakan baca di sini).
Pak CT berpesan kepada Tjahja agar
menulis bukunya itu harus dibuat dengan bahasa yang sederhana, gampang
dimengerti oleh semua orang, tidak berkesan menyanjungkan diri sendiri
dan merendahkan orang lain, dan sebagainya. Pokoknya mirip seperti yang
ditulis Ramadhan K.H. Tjahja mengaku, demi memenuhi kehendak Pak CT itu,
dia sampai membaca habis beberapa buku biografi karya Ramadhan K.H.
Agar bukunya tersebut sedapat
mungkin bisa terjangkau daya beli sebanyak mungkin orang, Pak CT sampai
berunding langsung dengan pimpinan Penerbit Gramedia-Kompas mengenai
harga jual bukunya tersebut. Pak CT mengatakan, pokoknya bukunya itu
harus dijual semurah mungkin. Untuk itu, pihak Penerbit tidak usah
membayar kepadanya sepeser pun royaltinya dari hasil penjualan buku
tersebut.
Menurut Pak CT, normalnya buku
setebal bukunya itu harga jualnya di atas Rp 100.000 per eksemplar.
Namun, dari hasil perundingan tersebut, akhirnya disepakati harga
jualnya Rp 58.000. Itu pun masih berusaha ditawar oleh Pak CT, tetapi
pimpinan Penerbit Gramedia-Kompas itu angkat tangan. Katanya, kalau
lebih murah lagi, berarti pihaknya harus nombok.
Dari sekian banyak pemaparan Pak
CT, termasuk ketika menjawab beberapa pertanyaan peserta acara, salah
satu pesan yang sangat mendalam bagi saya adalah ketika dia memberitahu
tentang kunci suksesnya. Kunci sukses itu kelihatanya sangat sederhana
dan umum, tetapi bagi Pak CT justru kunci sukses tersebut adalah yang
paling besar, yang paling utama. Yang membuatnya menjadi seperti
sekarang. Kunci sukses itu, tak lain adalah ibunya sendiri. Bagi Pak CT,
ibunya itu adalah segala-galanya. Tidak ada orang sukses di muka bumi
ini yang tidak menghormati orangtuanya, terutama sekali ibunya.
Pengalaman di masanya awal
kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia merupakan
momentum bagi Pak CT sehingga begitu menghormati dan menyayangi ibunya.
Seperti yang dikisahkan di bukunya itu. Ketika itu sebetulnya
orangtuanya tidak mampu untuk membiayai masuk kuliah Pak CT. Tetapi,
kemudian ibunya diam-diam menjual kain batik halus kesayangannya untuk
mencukupi membayar biaya masuk kuliah anak laki-laki kesayangannya itu.
Ketika ibunya memberitahukan hal
itu kepada Pak CT dengan maksud mendorong anaknya belajar dengan
sungguh-sungguh, Pak CT yang sudah senang bisa kuliah di Fakultas
Kedokteran UI itu sangat terperanjat. Tidak menyangka sampai sedemikian
dalam kasih dan pengorbanan ibunya kepadanya itu. Sejak itulah dia
berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi membebani orangtuanya,
dengan belajar sungguh-sungguh dan berusaha mencari penghasilan sendiri.
Usaha itu dimulai dengan menjual jasa fotokopi di kampusnya.
Ketika menjawab pertanyaan peserta
tentang kunci suksesnya, Pak CT menyampaikan tentang pandangannya
terhadap ibu(nya), sebagai berikut:
“Di mana-mana peran ibu menjadi kunci yang besar. Di agama yang saya anut, selalu mengedepankan peran ibu sangat penting.
Pertama itu selalu ibu, yang kedua ibu, yang ketiga ibu. Baru yang keempat bapak. Peran ibu itu begitu luar biasa.
(Oleh karena itu) yang
masih memiliki ibu, memiliki orangtua. Jaga, rawat, hormati, jangan
pernah sakiti hatinya. Kenapa? Ibu adalah “jimat” kesuksesan saya dan
anda.
Tidak pernah ada orang sukses yang tidak hormat pada orangtuanya. Apalagi kepada ibunya. Karena ibu itu kalau berdoa, paling lempeng, paling cepat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, betul, ibu adalah kunci dari kesuksesan saya, dan anda!”
Pak CT memang tidak akan pernah lupa kepada ibunya seumur hidupnya.
Di bukunya itu pula, Pak CT
mengisahkan tentang permintaan ibunya yang hendak naik haji. Ketika itu,
Pak CT sudah menjadi pengusaha besar yang sukses. Sudah punya Bank
Mega, dan sebagainya. Permintaan ibunya yang disampaikan langsung kepada
Pak CT itu sempat membuat Pak CT bimbang. Bukan soal apa, tetapi soal
siapakah yang bisa mendampingi ibunya ke Mekkah untuk naik haji itu.
Kalau mau, tentu saja dia tinggal menyuruh salah satu orang
kepercayaannya, atau kerabatnya untuk keperluan tersebut. Sebab, Pak CT
sendiri sudah sangat sibuk. Kalau dia sendiri yang mendampingi ibunya
tentu banyak pekerjaan yang harus ditinggalkannya.
Namun akhirnya, Pak CT mengikuti
suara hatinya. Dia memutuskan dia sendirilah yang mendampingi ibunya
naik haji, sekalian dia ikut naik haji. Mendelegasikan semua pekerjaan
yang ditinggalkannya selama di Mekkah kepada orang kepercayaannya.
Ternyata, selama di Mekkah itulah
Pak CT mendapat banyak sekali pengalaman rohani, yang membuat dia
semakin mencintai ibunya, dan semakin yakin keputusannya untuk
mendampingi ibunya adalah sesuatu yang bukan saja tepat, tetapi sudah
merupakan suatu amanah.
Sejak pulang dari naik haji
mendampingi ibunya itu, Pak CT mengaku, korporasinya di bawah nama Para
Grup mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat daripada sebelumnya. Sejak
11 Desember 2011, nama Para Grup diganti dengan nama CT Corp. “CT”
adalah inisial dari namanya sendiri, Chairul Tanjung.
Perusahaan-perusahan besar terkenal
yang bernaung di bawah CT Corp, antara lain adalah Bank Mega dan
Asuransi Mega, Trans TV dan Trans7, Trans Studio, Bandung Supermal,
Carrefour, Metro Department Store, detik.com, Coffe Bean and Tea Leaf,
Baskin Robbins, Wendys, PT Mahagaya Perdana pemegang merek-merek mewah
internasional; Prada, Miu Miu, Tod’s, Aigner, Brioni, Celio, Hugo Boss,
Francesco Biasia, Jimmy Choo, Canali, dan Mango, dan masih banyak lagi
perusahaan besar milik Pak CT yang bernaung di bawah bendera CT Corp itu
yang bergerak di bidang jasa keuangan, perhotelan, traveling,
perkebunan, dan lain-lain.
Pada 20 November 2012, saham
Carrefour telah dibeli 100 persen oleh CT Corp. Nama “Carrefour” akan
menjadi “Trans Carrefour.” Nama dan logo Carrefour akan semakin kecil
dan akhirnya “menghilang” dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Diganti
dengan nama “Trans … ” dengan logo baru.
Ini adalah cuplikan pesan Pak CT kepada semua peserta acara tentang arti seorang ibu baginya (video milik pribadi):
Pada waktu acara penandatanganan
buku, terjadilah antrian yang cukup panjang. Ketika giliran saya,
setelah buku saya ditandatangan, saya sengaja menyodor tangan saya untuk
berjabat tangan dengan Pak CT. Dengan tersenyum ramah, dia menjabat
tangan saya, sambil berkata, “Terima kasih, ya, Mas.”
Setelah acara selesai, sebagian
peserta masih mengajak Pak CT untuk foto bersama. Meskipun Pak CT harus
segera ke Bandara Juanda, karena harus ke Singapura malam itu, Pak CT
masih saja mau meladeni permintaan foto bersama itu.
Akhirnya, karena waktu semakin mepet,
Pak CT minta maaf, mengatakan dia harus segera ke Bandara Juanda,
karena mau ke Singapura. Waktu Pak CT berjalan tergesa-gesa melewati
saya, tanpa ragu, saya kembali menyodorkan tangan saya untuk berjabat
tangan lagi dengan dia. Kalau orang lain, mungkin akan mengabaikan,
tetapi tidak bagi Pak CT. Dia masih menyempatkan diri berhenti sejenak
untuk menyambut ajakan jabat tangan saya itu, “Selamat jalan, ya, Pak.
Terima kasih,” kata saya. Pak CT mengangguk, tersenyum.
Saya yang baru pertamakali bertemu
langsung dengan Pak CT mendapat kesan bahwa dia adalah seorang
konglomerat muda paling sukses, tetapi sangat rendah hati dan bersahaja.
Komitmennya untuk menyumbangkan, berbagi pengalaman suksesnya demi
kemajuan bangsa dan negara dicintainya ini, tak diragukan sedikitpun.
Pak CT telah banyak memberi
sumbangan bagi kemajuan negara ini, antara lain dengan membuka lapangan
kerja bagi sedikitnya 75.000 orang yang bekerja di bawah bendera CT
Corp., demikian juga dengan misi-misi kemanusiaan yang diselenggarakan
oleh perusahaan-perusahaannya dalam rangka Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan, atau Corporate Social Responsibility ( CSR), maupun misi-misi kemanusiaan dari dirinya sebagai pribadi.
Sosok PT CT memang patut menjadi
panutan. Terutama bagi generasi muda bangsa, untuk bersama membangun
negeri ini. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju,
berpenghasilan tinggi bagi rakyatnya. ***
Sumber :http://sosok.kompasiana.com
0 komentar: